Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menggeluti Nada Mayor dalam Puisi dan Semesta

musikalisasi puisi

Bagi siapapun yang menekuni seni membatasi bunyi ini, pasti akrab dengan istilah yang satu ini; Harmoni. Ia adalah sebuah ketersambungan, sebuah sinkronisasi, sebuah jalinan, dan hubungan antar unsur musik atau apalah yang tepat untuk menjelaskannya. Namun, pokok inilah yang kemudian membentuk suatu perspektif di mana sebuah karya musik itu bisa dinikmati. Dalam bahasa sederhana biasanya disebut dengan tidak fals, jika fals, maka pasti ada satu yang tidak harmoni.

Lalu, bagaimana jika seni pembatasan bunyi ini bukan sekadar bersuara melalui instrumen atau alat yang mengeluarkan bunyi? Bagaimana jika seni pembatasan bunyi ini dikenakan kepada suara atau isi pikiran dan hati seseorang yang telah terpatrih dalam suatu buku antologi misalnya? Sebuah puisi! Harmoni dalam hal ini bukan hanya soal fals dan tidak fals, tapi lebih dari itu.

Puisi memang tak bersuara dalam secarik kertas. Sekilas puisi mungkin hanya sebuah kumpulan aksara yang disusun hingga tersampaikan dan terwakilkanlah ”unek-unek” penulisnya. Namun, dalam hal ini, sebenarnya puisi adalah lagu diciptakan oleh seseorang yang tak bisa bernyanyi. Maka, tugas utama memusikalisasi puisi adalah kembali membuatnya menjadi lagu.

Dalam karya yang kemudian disebut sebagai karya musikalisasi puisi ini, harmoni terjadi antara bunyi yang instrumentil—dalam hal ini pita suara juga dapat disebut sebagai instrumen musik—dan apa yang dibunyikan (puisi). Jembatan untuk mencapainya bisa macam-macam, bisa merefleksi, menginterpretasi, bahkan berkontemplasi terhadap isi dan makna puisi itu. Kemudian menentukan suasana yang terjalin dalam makna itu, lalu mencoba mencari nada dan komposisi yang pas dan sesuai. Maka, hasil akhir dari semua proses itu adalah sebuah bunyi-bunyian yang diatur menurut linimasa tertentu—sebuah lagu!

Mengawinkan antara musik dan puisi dalam pengalaman kami pada awalnya terjadi secara spontan, tak ada proses yang berarti, hanya memikirkan nada dan progresi yang “enak” di dengar. Kami melupakan suara atau “makna” yang sudah lebih dulu ada dalam puisi. Kami sibuk mempelajari genre musik tertentu dan teknik untuk memainkannya. Kami benar-benar sibuk, sibuk benar, sampai suatu hari kami sadari kesalahan itu.

Pertemuan awal kami dengan karya musikalisasi puisi adalah pada musikalisasi puisi karya Sapardi Djoko Damono berjudul “Sajak Kecil Tentang Cinta” oleh Ari dan Reda. Suara falsen melengking dalam komposisi itu pada awalnya kami kagumi sebagai teknik bernyanyi yang luar biasa. Namun, kami tambah kagum lagi ketika tahu bahwa yang mereka berdua jeritkan adalah sebuah puisi.

Setelah memutuskan untuk lebih banyak berkarya dengan memusikkan puisi, kami mencari referensi sebagai “kiblat” awal. Kemudian oleh seorang dosen pengampu matakuliah Pembinaan Majalah Sekolah waktu itu, yakni Bapak Siswanto, kami disuguhi karya teman-teman Jaringan Anak Bahasa (JAB) Yogyakarta. Musikalisasi puisi “Kekasih” karya S. Arimba sangat menginspirasi kami waktu itu. Arah kiblat kami tak berubah sampai datanglah “Sang Pencerah” yang bernama, Ali Gardy.
Seniman multitalent itu kemudian memprotes musik kami yang bernuansa minor. Ia mengatakan bahwa musik puisi tak harus minor. Suasana bisa juga dibentuk dengan nada mayor.

Menurut Mas Ali—sapaan akrab kami waktu itu, nada minor menimbulkan kesan tak lengkap alias minder saat memulai. Konkretnya adalah nada awal yang keluar cenderung fade-in, seolah ragu-ragu. Namun, penjelasan dari “suhu” kami itu mentak dalam praktik kami menggarap musik puisi. Saya, yang kebetulan menjadi peletak batu pertama dalam penggarapan lagu “Kereta Senja” menyadari bahwa meskipun sudah memulai dengan nada mayor—dalam lagu ini adalah E Mayor—tembakan nada awal lagu masih ragu-ragu dan cenderung fade-in. Hal itulah yang kemudian dikritik oleh sang penulis sajak “Kereta Senja”, Bapak Siswanto.

Berangkat dari kritik tersebut, kami mulai mencari nada yang berani, yang benar-benar lantang seperti sebuah ledakan. Tetap dalam nuansa nada mayor, kami—saya khususnya—akhirnya sering berkutat dengan kunci A Mayor. Entah karena epigon terhadap enaknya lagu “Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan” punya Payung Teduh, atau karena suatu waktu kami mendengar bahwa A Mayor adalah nada dari peristiwa big bang, atau karena vokalis kami (@kang_imrun) yang cocok dengan kunci nada itu, yang pasti karya kami berikutnya lebih sering menggunakan kunci itu. Maka, setelah berproses selama beberapa waktu yang cukup lama, muncullah karya kami berikutnya, yaitu “Pada Suatu Hari Nanti”-nya Sapardi Djoko Damono.

Sebagai grup yang memutuskan berkarya dengan menggeluti puisi, pengetahuan tentang sastra dan musik adalah suatu kebutuhan wajib bagi kami. Kami sadar bahwa karya kami belum dapat disandingkan dengan karya suhu-suhu dan master-master dalam bidang musik dan kesusastraan. Namun, kami bertekad untuk terus menggeluti puisi, sastra, nada mayor, dan semesta. Semoga kami bisa terus berkarya.

Probolinggo, 2017
Achmad Syuja’i

Alumni FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia UNEJ angkatan 2012. Personel tetap grup musikalisasi puisi “Selimut Dingin”. Saat ini berprofesi sebagai guru.

1 komentar untuk "Menggeluti Nada Mayor dalam Puisi dan Semesta"