Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Romantis Sedih: Radar Surabaya

Pengertian Cerpen

Cerpen adalah salah satu jenis karya sastra yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Cerpen banyak disukai karena dapat dibaca dalam waktu yang singkat. Selain itu cerpen juga memiliki alur yang rapat dan kuat, sehingga pembaca benar-benar mendapatkan pengalaman dalam dunia yang dihadirkan dalam cerpen.

Salah satu cerpen yang disukai oleh pembaca khususnya remaja adalah cerpen romantis atau cerpen sedih. Berikut adalah contoh cerpen romantis dan sedih yang pernah dimuat di Radar Surabaya pada tahun 2015 lalu. Selamat membaca!

Cerpen Romantis dan Sedih - Menahan Rasa (Radar Surabaya, 2015)

contoh cerpen romantis dan sedih
Sumber: yourhealth

Berisik bunyi hujan menemaniku senja itu. Air hujan tak henti-hentinya menyerang bumi. Seolah-olah dengan jumlahnya akan mampu menghancurkan bumi. Tapi bumi punya kemampuan lain yang tak dimiliki hujan. Ia mampu menyerap semua air sehingga Ia tak perlu risau akan ancaman air hujan. Hujan hanya akan menggelitik bumi. Bumi pun akan senang karena hujan tumbuhlah tanaman sedang hujan terus menjatuhkan dirinya.

Tampaknya dalam sudut rumah ini, aku lah hujan. Aku yang selalu dianggap anak manja. Dulu di rumahku sendiri, orang tuaku samapi kewalahan melayani semua keinginanku. Aku anak kedua. Anak termanja di keluargaku. Aku akan bersembunyi di balik pintu jika permintaanku tak dipenuhi. Itulah tempat di mana orang-orang akan benar-benar menelpon polisi karena tak menemukanku. Bagaimana mungkin mereka akan menemukan tubuh mungil yang berada di balik pintu, di sudut kamar, sementara orang-orang sibuk mencariku di kolong ranjang. Hingga pada akhirnya aku keluar dengan sendirinya dengan masih menelan batu yang menyangkut di tenggorokanku. Dengan angkuhnya aku masih bersikeras meminta untuk pergi ke pasar malam. Tak peduli perasaan ayah atau ibu. Yang ku inginkan saat itu juga harus segera mungkin dipenuhi. 

Masih ku ingat betul saat SMA, kelakuanku tak juga berubah. Aku yang tergolong populer di sekolah laksana ratu kecantikan yang tak diperbolehkan mengenakan gaun berliannya. Bagaimana mungkin? Ini sekolah. Tempatnya ilmu pengetahuan. Semua harus seragam. Baju harus seragam. Celana harus seragam. Nilai pun harus diseragamkan. Setelah lulus maka jangan salahkan kami jika merusak seragam-seragam itu—tertawaku dalam hati.

Aku masih ingat saat guru itu dengan jengkelnya mengayunkan tangannya ke arah pipiku yang putih bersih. Masih ku ingat betul bagaimana mulut-mulut itu menghujaniku tidak hanya dengan cacian. Tapi juga dengan ludah mereka. Saat itu aku merasa bahwa sekolah bukanlah tempatku. Aku bukan hidup untuk sekolah. Sepertinya tak ada yang dapat memahami apa yang ku inginkan di sini. Tak ada seorang pun. Mungkin hanya ayah saja yang dapat memahami keinginan putri kecilnya ini. 

Barang setengah jam aku basah oleh ludah guru-guru yang sudah berebut cara untuk menyelesaikan masalahku, datanglah dia. Dengan senyum itu aku merasa tubuhku telah kering oleh hangatnya sosok yang lewat itu. Wangi parfumnya menunjukkan kebesarannya. Sosok yang bersahaja, ramah, dan sopan. Ku hirup dalam-dalam wangi itu. Ingin rasanya sepulang sekolah aku pergi ke toko parfum dan mencari parfum apa yang dipakainya. Atau jika perlu aku minta ayah untuk mencarikannya. Lagi-lagi ayah.

Tapi sekarang dengan bebas aku bisa menghirup  aroma itu. Aku tinggal membuka laci di kamar lalu aku bebas terlarut dalam wangi yang membuatku mabuk kepayang itu. Wangi yang membawa kewibawaan. Wangi yang membuatku merubah sikap hanya untuk berdekat-dekatan dengan pemilik aroma itu. Wangi itu juga yang membuaiku. Dalam dekapan itu aku merasa dicintai.

Oh Suamiku. Aku merasa sangat beruntung menjadi istrimu. Jangan kurangi sedikitpun cintamu untukku. 

Lamunanku berakhir oleh suara mobil yang baru saja tiba. Segera ku berlari untuk mengambil payung. Aku tak mau suami yang kucintai basah kuyup oleh hujan. Segera ku sambut ia sambil membawakan tas jinjingnya. Ia terlihat sangat kelelahan. Ku longgarkan simpul dasi yang melilit lehernya. Lalu ku singkirkan. 

“Mas, mau mandi dulu?” kataku dengan mesra.

Tanpa mendengarkan jawabannya langsung saja ku ambil handuk dalam lemari. Ia pun hanya tersenyum menyambut handuk yang ku berikan. Aku masih ingat betul senyum itu sama persis ketika aku pertama kali bertemu dengannya. Hanya saja aku merasa senyum itu lebih manis dan ditujukan hanya untukku seorang. Aku adalah wanita yang paling beruntung di dunia ini. Aku tak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk dapat berkenalan dan menikah dengan doktor muda yang cerdas dan tampan pula. Barangkali inilah yang Kartini tidak punya. Ia hanya bisa bermimpi mendapatkan suami yang sama denganku. Ia sibuk dengan perangnya. Perang melawan laki-laki khususnya. Jika laki-laki itu sangat menyayangi kita, kenapa harus dilawan? Aku dibuai, dipeluk, dan semua keinginankku pasti dipenuhi. Rumah ini adalah istana hanya untukku. Hanya untukku. Kenapa harus repot-repot jika sudah nyaman dengan keadaan? Mungkin Kartini tak seberuntung diriku. Mungkin ia kurang kasih sayang dari suaminya. 

Setelah selesai mandi, aku yang sudah menunggu, duduk di atas ranjang sambil memegang baju dan celana ganti untuk suamiku. Entah mengapa sehabis melamun tadi aku merasa sangat bahagia akan kenyataan yang mengelilingiku. Dalam hati masih saja aku kegirangan.

Aku. Sayangi aku terus. Di rumah ini hanya ada aku. Wanita di sini hanyalah aku. Hanya aku yang kau cintai. Suamiku. Jiwa raga ini sepenuhnya milikmu.

Selesai berpakaian, suamiku tiba-tiba memberiku sebuah kotak dari dalam tas kopernya. Sebuah hadiah. Aku tak menyangka suamiku akan memberiku sebuah hadiah. Sekali lagi aku menang dari Kartini si pahlawan. Ingin sekali aku meledeknya sambil menjulurkan lidahku ke arahnya. Sayang kali tak ada potret per-empu-an itu di rumah ini. 

Langsung saja ku dekap suamiku tercinta. Suamiku tersayang. Suamiku membalas dengan senyuman yang lebih manis lagi. Ingin sekali aku mengecup bibirnya tapi Ia malah menggandeng tanganku menuju meja makan. Rupanya Ia sangat lapar. Aku memeluk lengannya. Ke dekap erat-erat pada dadaku sambil berjalan aku sandarkan kepalaku ke bahunya. 

Tiba di meja makan aku segera menyendokkan nasi untuknya, mengambilkan lauk pauknya, menuangkan air minumnya. Malam itu aku memasak makanan kesukaannya. Aku memasak ayam goreng tepung ala Amerika. Seperti biasa dengan lahap Ia menggigit paha dan dada ayam goreng itu. Sambil tersenyum ia menawarkannya kepadaku. Aku yang sedari tadi memperhatikannya tiba-tiba menangis dengan sikapnya itu. Tapi dengan lembut Ia menghapus air mata yang meluncur hangat di kedua pipiku. Dengan nada mesra diucapkannya kalimat terindah yang belum pernah aku dengar.

Jangan menangis di meja makan. Untukku bersabarlah. Cobalah untuk menahan rasa itu. Nikmati saja makan malam ini. Bersamaku. 

Tisu itu ku genggam erat. Dadaku penuh sesak oleh rasa yang tidak karuan. Perasaan ini. Mengapa aku menangis? Baru ku sadari aku tak sekuat Kartini. Aku lemah. Aku hanya wanita yang bisanya cuma menangis. Menangis terisak-isak di depan lawannya. Menyerah pada perasaan dirinya sendiri. Sedang lawanku terus saja tersenyum. Entah apa yang ada dalam hatinya. Aku tak mampu menjamah hatinya sedikitpun. Mengintipnya pun tak dapat. Hati mereka lebih luas. Mereka dapat menyimpan banyak hal di dalamnya. Sedang aku hanya memenuhinya dengan wajah mereka. Senyum mereka. Perlakuan mereka. Oh lelaki. Oh suami.

Belum selesai aku menangis, suamiku telah selesai dengan ayamnya. Ia beranjak dari meja makan menuju ruang tengah tempat kita biasa berdua sambil menonton televisi atau berkaraoke bersama. Ku sambut tangannya yang kekar. Ku dekap lagi pada dadaku. Aku duduk diam dalam dekapan mesranya. Ia beranjak menuju knop lampu untuk sedikit meredupkan cahaya. Ku kira Ia mau menonton film denganku. Terlihat foto pernikahanku yang perlahan tenggelam dalam kegelapan. Yang bisa ku lihat hanyalah tulisan namaku dan suamiku: “Ida & Fathur”. Ia kembali lagi dalam dekapanku. 

Ia memutar album Kerajaan Cinta dari Dewa 19. Sembari mengelus rambutku Ia menyanyikan lagu kangen yang mengiris hatiku. Irama sendu dari sebuah lagu, sentuhan lembut suamiku, dan dekapan hangatnya menambah haru biru suasana malam itu. Sesekali Ia menatapku dengan nakal karena saat itu aku terus saja menangis. Kali ini dicabutnya tangannya dari dekapanku kemudian Ia kalungkan pada leherku. Dengan sentuhan-sentuhannya lagi-lagi aku dimabuk cinta, seperti saat pertama kali melewati malam bersama. Dalam pada itu pula malam akhirnya berlalu. Malam terakhir. 

Pagi itu aku siap dengan segala sesuatu yang baru. Sesuatu yang telah aku pelajari dari tiap air mata yang jatuh semalaman. Bahwa Kartini adalah bagian dari diriku. Kartini adalah buah pikiranku. Kartini adalah penjara bebasku di masa lalu. 

“Nyonya mau berangkat sekarang?” Kata Suliman yang berdiri di belakangku. 

***

Untuk kedua kalinya aku duduk berjejer dengannya di depan kesaksian. Hanya saja tak ada kebaya yang membalut tubuhku. Tak ada motif-motif indah dan berkilau pada tubuhku. Ia juga berpakaian seperti pekerja kantoran biasa, berkemeja, berdasi, bedanya cuma pada kopyah hitamnya. Dalam acara di tempat seperti ini, sesorang akan dibilang berkelakuan baik dengan pakaian yang dikenakannya. Keputusannya untuk memberikanku 3 talak sekaligus tak bisa ku hindarkan.


Posting Komentar untuk "Cerpen Romantis Sedih: Radar Surabaya"