Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Unsur Intrinsik Cerpen Rasa Karya Putu Wijaya

Dalam kajian sastra terdapat beberapa teori yang dapat menjadi “pisau analisis” terhadap suatu karya. Salah satunya adalah teori struktural. Pandangan strukturalisme dalam bahasa dipelopori oleh Ferdinand D’Sausure. Dalam pandangan ini karya sastra memiliki unsur yang membentuk. Unsur–unsur tersebut biasanya disebut dengan unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur yang membentuk karya sastra itu sendiri terkait dengan unsur pembangun isi dari karya sastra, sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur pembangun karya sastra yang berasal dari luar karya sastra itu sendiri. Sederhananya adalah unsur ekstrinsik adalah unsur pembangun yang tak tercantum dalam teks karya, seperti biografi penulis, latar sosial, latar sejarah, dll.

Unsur Intrinsik


Unsur instrinsik yang biasa dikenal ada tujuh, yaitu:



  1. Tema
  2. Tokoh dan Penokohan
  3. Latar
  4. Alur
  5. Sudut Pandang
  6. Nilai/Amanah
  7. Majas/gaya bahasa


Tokoh

Tokoh adalah subjek atau pelaku yang berperan dalam keseluruhan jalan cerita. Umunya tokoh dianggap sebagai nama-nama orang yang terlibat dalam cerita, tetapi untuk cerita yang bergaya surealis, tokoh bisa saja berupa hewan atau tumbuhan atau benda lain—bukan manusia. Tokoh umumnya dibagi menjadi tiga macam, yaitu: antagonis (jahat), protagonis (baik), dan tritagonis (penengah). Namun, sebenarnya itu berlaku untuk karya sastra klasik atau lama. Pada karya-karya tersebut citraan apakah tokoh itu baik atau jahat sangat jelas. Untuk karya sastra modern citraan seperti itu sulit dijelaskan. Umumnya perwatakan pada tokoh dibuat secara alami—seperti tidak ada orang yang benar-benar jahat di dunia ini. Contoh watak yang sering muncul dalam karya sastra adalah serakah, pemarah, penyayang, pendendam, rendah hati, bijaksana, dll.

Latar

Latar/setting dapat dikatakan sebagai konteks terjadinya cerita, tetapi konteks yang dimaksud bukan konteks lahirnya karya tersebut. Latar umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu: latar waktu, latar tempat, dan latar suasana.

Alur

Alur adalah kronologi cerita berdasarkan konflik yang terjadi. Alur biasanya dibagi menjadi tiga, yaitu: alur maju, alur mundur, dan alur campuran. Alur maju memiliki tahapan  sebagai berikut:

Orientasi → Permulaan konflik → Klimaks → Penyelesaian Masalah → Penutup/koda

Alur mundur memiliki tahapan yang diawali dengan situasi permasalahan yang telah selesai. Artinya dalam cerita seorang Tokoh hendak menceritakan tentang permasalahan yang telah lalu. Tahapan alur mundur dapat juga dimulai dengan klimaks menuju penyelesaian, lalu menceritakan kembali latar belakang permasalahan.

Sudut Pandang

Sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan posisi dalam cerita. Cara ini juga menentukan bagaimana pembaca memahami keseluruhan cerita. Sudut pandang dalam karya sastra terbagi menjadi tiga, yaitu: sudut pandang orang pertama, sudut pandang orang ketiga pengamat, dan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Dalam penggunaan sudut pandang orang pertama, cerita berjalan berdasarkan apa yang dialami oleh tokoh Aku. Dalam hal ini sudut pandang tokoh pertama dapat dirasakan seolah-olah pengarang atau pembaca mengikuti apa yang diceritakan dan dialami tokoh Aku. Contoh narasinya adalah sebagai berikut.


Tampaknya dalam sudut rumah ini, aku lah hujan. Aku yang selalu dianggap anak manja. Dulu di rumahku sendiri, orang tuaku samapi kewalahan melayani semua keinginanku. Aku anak kedua. Anak termanja di keluargaku.



Sudut pandang orang ketiga umumnya menggunakan tokoh “dia” sebagai tokoh utama. Dapat juga dikatakan bahwa pengarang seolah hendak menceritakan tentang “dia”. Dalam sudut pandang orang ketiga serba tahu, pengarang biasanya menceritakan tokoh dengan sangat jelas. Artinya pengarang mengetahui apa saja mengenai tokoh “dia”. Selain itu pengarang juga bebas menceritakan siapapun tokoh yang ada dalam cerita, meliputi latar belakangnya, motifasinya, wataknya, dan sebagainya, sedangkan sudut pandang orang ketiga pengamat hanya terbatas pada beberapa tokoh saja. Beberapa tokoh dibiarkan tetap menyimpan rahasia, seolah pengarang pun juga tak begitu memahaminya.

Nilai/Amanah

Nilai/amanah adalah hal yang wajib ada dalam setiap karya sastra. Hal itu sesuai dengan fungsi sastra yang dikatakan oleh Effendi (dalam Husniah dkk, 2013) sebagai “kenikmatan dan kehikmahan”, yaitu kenikmatan dalam arti sastra memberi hiburan yang menyenangkan dan kehikmahan dalam arti sastra juga memberi sesuatu nilai yang berguna bagi kehidupan.

Majas/gaya bahasa

Gaya bahasa berkaitan dengan style atau gaya kepenulisan pengarang. hal ini juga berkenaan dengan estetika atau keindahan dalam sastra. Umumnya karya sastra ditulis dengan gaya yang menarik dan terkadang juga simbolik. Dalam sastra terdapat banyak gaya bahasa atau majas seperti: hiperbola, metafora, personifikasi, dll.


Unsur-unsur tersebut membangun sebuah karya menjadi kesatuan yang utuh. Dalam sebuah karya roman atau narasi, unsur tema mendukung untuk membentuk latar, kemudian membantu menunjuk tokoh dan penokohannya, seterusnya hingga suatu karya terbentuk dengan maksud yang diinginkan pengarangnya. Meskipun terkadang para sastrawan atau pengarangnya tidak terlalu peduli dengan adanya unsur-unsur tersebut, karena tugas mereka memang adalah melahirkan karya sastra itu sendiri. Dalam kajian struktural, karya sastra dianalisis untuk menemukan dan menjelaskan unsur instrinsik yang membentuk karya tersebut.

Unsur Intrinsik dalam Cerpen Rasa Karya Putu Wijaya

cerpen rasa karya putu wijaya

Dalam artikel ini contoh penerapan kajian struktural untuk menemukan unsur instrinsik dilakukan pada cerpen Rasa karya Putu Wijaya. Cerpen ini berkisah tentang tokoh Aku sebagai seorang ayah yang kebingungan dengan perilaku anak gadisnya dan istrinya. Tokoh Aku mengira bahwa anak gadisnya tersinggung oleh ucapannya yang membandingkan dan memuji seorang wanita bergelar doktor yang dibacanya di sebuah koran. Tokoh Aku mengira anak gadisnya cemburu dan tersinggung karena ucapan ayahnya itu. Anak gadisnya tersebut memutuskan untuk tidak keluar kamar dan pada malam harinya pergi ke rumah temannya dengan alasan belajar dan hendak menginap di sana.

Tokoh Aku merasa bersalah sebagai seorang ayah telah menyinggung perasaan anak gadisnya.

Pada tengah malam, ia memutuskan untuk menjemput Ami—anak gadisnya, dari rumah temannya. Ia merasa perlu meminta maaf atas ucapannya. Dengan alasan ibunya sakit, tokoh aku hendak membujuk Ami untuk pulang. Tetapi, atas kebohongannya tersebut, tokoh Aku merasa tambah bersalah kepada anaknya. Akhirnya ia memutuskan untuk meminta maaf atas perilakunya termasuk mengenai doktor muda yang cantik. Di luar dugaan tokoh Aku, Ami malah tertawa mendengar ucapan ayahnya itu. Kemudian ia menjelaskan bahwa sebenarnya yang merasa cemburu adalah ibunya. Ibunya yang menyuruh untuk mengurung diri dalam kamar dan pergi ke rumah Rani pada malam harinya. Setelah mendengar penjelasan anak gadisnya tersebut, tokoh Aku baru menyadari bahwa ia tidak bisa memahami apa-apa tentang perempuan, bahkan istri dan anak gadisnya. Selain itu ia juga sadar bahwa sebenarnya dibalik kecerewetannya, istrinya begitu sangat mencintainya.

Tema

Tema yang diangkat oleh penulis dalam cerpen “Rasa” adalah tentang feminisme atau seputar wanita. Hal itu dapat dilihat dari keseluruhan cerita yang membahas seputar wanita.

Pada bagian awal penulis menyampaikan pendapat melalui tokoh Aku tentang wanita ideal.

MEMANDANGI koran, melahap foto doktor termuda Indonesia I Gusti Ayu Diah Werdhi Srikandi WS, 27 tahun, mataku tidak berkedip. “Cantik, badannya bagus, senyumnya mempesona,” gumanku memuji. “Kalau aku masih muda, aku akan datang kepadamu dan langsung melamar.”
Ami yang sejak tadi di belakangku nyeletuk, “Begitu ya? Bagaimana kalau ditolak?” Aku mengangguk.
“Ditolak, diusir, bahkan diinjek-injek pun aku masih senang. Aku kagum di Indonesia ini masih ada perempuan yang belum kepala 3 sudah jadi doktor. Sudah jadi bintang di malam gelap bagi pelaut yang sesat. Gila!”
       
Tidak hanya itu pada bagian-bagian berikutnya, permasalahan yang terjadi juga seputar wanita. Maka dari itu tema yang diangkat penulis dalam cerpen “Rasa” adalah feminisme atau seputar wanita.

Tokoh dan Penokohan

Tokoh-tokoh dan perwatakan yang terdapat dalam cerpen “Rasa” karya Putu Wijaya digambarkan sebagai berikut.


Tokoh Aku/Ayah Ami/Pak Amat

Tokoh Aku berwatak egois dan keras kepala. Hal itu tergambar dalam perilakunya sebagai berikut.


“Anakmu selalu begitu!” protesku kemudian kepada ibunya.
“Habis Bapak sih tidak punya perasaan!”
“Tidak punya perasaan bagaimana?”
“Masak memuji perempuan di depan anak perempuan satu-satunya?”
“Lho kenapa? Apa salahnya? Ami sudah besar. Dia harus bisa menerima kenyataan!”
“Tidak semua kenyataan harus dipujikan di depan anak!”
Aku tidak menjawab. Bukan karena tidak punya jawaban. Karena istriku terus ngomel. Baru setelah kembali sendirian, aku muring-muring.
Tetapi, tokoh Aku juga berwatak baik hati, peduli, dan penyayang terutama kepada istri dan anaknya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
Aku terhenyak. Satu jam aku mondar-mandir dikili-kili perasaan. Sudah jelas sekarang, Ami ke rumah temannya untuk melarikan perasaannya yang tersinggung.
Aku sudah menyakiti dia. Dan penyesalan selalu terlambat. Aku jadi sebal, kenapa masih membiarkan diri alpa. Kenapa aku tidak peka. Aku tidak pernah lupa Ami bukan anak kecil lagi tapi perempuan dewasa. Kenapa aku selalu memperlakukannya sebagai anak-anak yang harus selalu dilindungi?
Tengah malam.
Aku tak bisa lagi mengendalikan perasaan. Diam-diam aku pergi menjemput. Tapi di jalan aku baru sadar, sebenarnya aku belum tahu Ami menginap di rumah temannya yang mana. Terpaksa aku kembali, celakanya istriku sudah tidur. Nampaknya begitu pulas sehingga aku tidak sampai hati membangunkan. Lagi pula buat apa membangunkan macan tidur.



Tokoh Istri/Ibu

Istri atau Ibu dalam cerpen “Rasa” digambarkan sebagai sebagai istri yang cerewet. Seperti yang tergambar dalam kutipan berikut.



“Kok Ami belum pulang, Bu?”
“Ya kan belajar di rumah temannya!”
“Tapi ini sudah malam.”
“Ya nggak apa, Ami sudah bawa salin.”
“O ya? Menginap di ruman teman?”
“Memang.”
“Kenapa?”
Istriku membentak. “Ya, belajar!”
Aku sudah biasa dibentak istri. Jadi tidak kaget. Tapi hanya Tuhan yang tahu, bagaimana perasaan seorang bapak kalau anak perawannya larut malam belum pulang.


Tokoh Ami
Ami dalam cerpen “Rasa” digambarkan sebagai sosok anak yang penurut dan mengerti perasaan ibunya. Ia juga digambarkan sebagai sosok yang ceria dan penyayang terutama kepada ayah dan ibunya. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut.


Ami terkejut. Matanya langsung berkaca-kaca seperti mau menangis. Aku jadi iri. Aku yakin mata itu tak akan mengucurkan air kalau yang sakit itu bapaknya. Tapi sudahlah. Biar saja. Itu memang nasib seorang bapak. Dan aku tidak pernah menyesal jadi seorang bapak.
Ami buru-buru mengemasi buku-buku dan menyambar tas gendongnya.
“Sakit apa? Sudah dibawa ke puskesmas.”
“Tenang! Nanti Bapak ceritakan.”
Dalam perjalanan pulang, Ami mendesak terus apa sakit ibunya. Aku terpaksa berterus-terang. Lalu blak-blakan minta maaf. Ami bingung.
“Bapak kok minta maaf sama aku?”
“Ya. Harus!”
“Kenapa?”
“Aku salah!”
“Apa salah Bapak?”
“Bapakmu ini sudah manula Ami. Bapak sudah kena biasan pendidikan kolonial, jadi kuno. Bapak minta maaf sebab bapak sudah menyinggung perasaanmu. Bukan maksud Bapak untuk menyindir. Sama sekali bukan. Seperti kata pepatah, burung terbang di langit dicari, burung di tangan dilepaskan. Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Bapak minta maaf.”
Ami tertawa.
“Kamu jangan menertawakan orang yang minta maaf.”
“Sama sekali tidak. Tapi Bapak salah alamat.”
“Salah alamat bagaimana?”
“Bapak menyangka saya sudah tersinggung?”
“Ya. Kamu sebenarnya tidak sakit dan tidak sedang belajar. Kamu pasti hanya muak pada kelakuan Bapak yang kurang menghargai kamu. Bapakmu ini memang laki-laki kuno. Sudah ketinggalan sepur. Dulu orang tua untuk merangsang anaknya maju biasanya dengan cara membanding-bandingkan. Kata Pak Iskan tukang warung itu, sebaliknya daripada silau oleh kehebatan orang lain, harusnya Bapak bangga pada kamu, sebab kamu cantik dan pintar, Ami!”
Ami tertawa.
“Salah alamat, Pak!”
“Salah alamat bagaimana?”
“Yang tersinggung itu bukan Ami, tapi ibu.”
“Ah?”
“Ibu. Ibu yang menyuruh Ami jangan keluar kamar, jangan makan malam di meja makan dan pergi nginap belajar di rumah Rani.”



Tokoh I Gusti Ayu Diah Weradhi

Tokoh ini digambarkan penulis sebagai wanita cerdas yang berhasil meraih gelar doktor pada usia muda.

   
Tokoh Pak Iskan
Pak Iskan digambarkan sebagai sosok yang bijaksana. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.


“Siapa yang sakit Pak Amat?” sapa tukang warung. Aku terpaksa singgah sambil curhat.
“Pak Iskan, situ juga punya anak gadis kan?”
“Betul Pak, tapi anak saya putus sekolahnya di SMA. Putri Bapak saya dengar sudah hampir lulus sarjana?”
“Ya. Tapi kelakuannya makin kekanak-kanakan. Masak bapaknya memuji perempuan cantik dia tersinggung. Apa hubungannya?!”
Tukang warung itu, ketawa.
“Kok pakai memuji orang lain, putri Pak Amat kan cantik dan pintarnya bukan main?”
Aku tertegun.
“Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, Pak!”

Tokoh Rani

Rani adalah teman Ami yang juga digambarkan sebagai gadis yang ceria dan seorang sahabat yang baik. Hal itu tergambar pada kutipan berikut ini.

“Kamu?”
“Saya kembali ke rumah Rani, sebab dia sudah menunggu. Itu dia!”
Ami menunjuk ke belakang. Aku terkejut. Rani di atas motor bebeknya ketawa sambil melambaikan tangannya di bawah bayang-bayang pohon. Perasaanku kacau. Aku malu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rasanya tak ada yang sudah kupelajari dalam kehidupan yang sudah ubanan ini. Aku kira aku sudah tahu banyak, tapi jangankan perasaan istriku, perasaan anakku juga aku tak tahu. Aku murid yang tak pernah naik kelas.

Latar

Latar tempat yang terdapat dalam cerpen “Rasa” karya Putu Wijaya adalah rumah, toko Pak Iskan, dapur, kamar Ami, rumah Rani, dan teras rumah.

Latar suasana yang tergambar dalam cerpen “Rasa” karya Putu Wijaya adalah suasana tidak nyaman. Hal itu terjadi ketika tokoh Aku sedang menebak-nebak dan kebingungan serta merasa bersalah. Selain itu pada akhir cerita terdapat suasana nyaman ketika akhirnya tokoh Aku menyadari betapa istrinya tersebut sangat mencintainya.

Alur

Alur yang terdapat dalam cerpen “Rasa” karya Putu Wijaya adalah alur maju. Hal itu dapat dilihat dari keseluruhan jalan cerita yang bergerak dari permualaan, awal permasalahan, puncak permasalahan, penyelesaain permasalahan, dan penutup/koda.

Sudut Pandang

Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen “Rasa” karya Putu Wijaya adalah sudut pandang orang pertama pelaku utama.

Nilai/Amanah

Nilai/amanah yang dapat diambil dari cerpen “Rasa” karya Putu Wijaya adalah saling menghargai dan mengerti terutama dalam lingkup keluarga. Selain itu cerpen ini juga mengajak untuk menyayangi anggota keluarga dengan sepenuh hati.


Posting Komentar untuk "Unsur Intrinsik Cerpen Rasa Karya Putu Wijaya"