Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Virus Korona dan Fenomena Bahasa

Awal mula kita mengenal peristiwa ini yaitu dengan adanya berita sebuah wabah virus korona yang mematikan terjadi di Wuhan, Tiongkok. Sekitar akhir tahun 2019, virus ini menginfeksi penduduk Kota Wuhan, kemudian menyebar hingga ke berbagai negara.

Virus ini sangat ditakuti karena selain menyebabkan kematian bagi korbannya virus ini dapat menular melalui cipratan air yang keluar dari mulut dan hidung. Selain itu, virus ini juga dapat menempel di permukaan benda dengan berbagai masa bertahan. Hal ini yang menyebabkan daerah yang sudah terkonfirmasi masyarakatnya terinfeksi virus korona harus diisolasi guna memutus rantai penyebarannya. Berbeda dengan virus mematikan lain yang menyebar lewat kontak lendir dan sebagainya, virus korona lebih cepat menulari korbannya. Hal inilah yang membuat dunia saat ini serasa mati suri dan penghuninya panik karena takut mati karena terinfeksi virus korona.

Seluruh media massa di penjuru dunia seakan kebanjiran topik untuk diwartakan kepada pemirsanya. Hampir setiap hari wabah virus korona menjadi headline berita. Tanpa disadari di balik masifnya pemberitaan itu terjadi fenomena bahasa, disebut fenomena karena merupakan hal yang baru terjadi dan dapat dikatakan unik. Berikut adalah beberapa penjelasan fenomena bahasa tersebut.

virus korona atau corona

1. Muncul Singkatan Baru


Tak dipungkiri, penanganan wabah virus korona ini memang sangat sulit. Selain karena obatnya memang belum ada, virus ini juga sangat gampang menulari manusia. Tak ayal, hal ini membuat para pemangku kebijakan harus menerapkan berbagai aturan, seperti penamaan status pasien. Jika tak dijelaskan dan mencari tahu sendiri, tentu orang akan kebingungan dengan singkatan-singkatan itu.

Dalam penangan virus korona, muncul beberapa singkatan yang belum ada sebelumnya atau dalam wabah penyakit yang pernah terjadi sebelumnya. Kalau dahulu, ketika virus flu burung mewabah di Indonesia, media menggunakan kata suspect ketika menyebut orang yang terkena atau diduga terkena virus tersebut. Namun, karena pola penularannya ini, pasien atau orang yang diduga terdampak virus korona dibagi menjadi beberapa status.

Pertama, status PDP (Pasien Dalam Pengawasan). Orang yang mendapat status ini adalah orang yang menunjukkan gejala terinfeksi virus korona. Selain itu, orang tersebut juga memiliki riwayat bepergian dari luar negeri atau dari daerah yang merupakan zona penyebaran virus korona. Orang dengan status PDP dapat dirawat di rumah sakit atau mengisolasi diri di rumahnya.

Kedua, status ODP (Orang Dalam Pengawasan). Orang dalam status ini tidak menunjukkan gejala sakit, tetapi ia memiliki riwayat bepergian ke daerah penyebaran atau ia pernah melakukan kontak dengab pasien positif terinfeksi virus korona.

Ketiga, ODR (Orang Dalam Resiko). Orang dalam status ini adalah orang yang tidak sakit akan tetapi ia sangat beresiko terkena virus korona. Orang dalam status ini adalah tenaga medis, petugas rumah sakit, dan sebagainya yang rentan terinfeksi virus.

Keempat, OTG (Orang Tanpa Gejala). Status ini sebenarnya adalah status hasil pemeriksaan yang dilakukan pihak medis kepada seseorang yang ingin tahu keadaannya. Jika memang tidak ada tanda-tanda gejala sakit dan tidak ada riwayat maupun resiko terinfeksi virus, maka orang tersebut diberi status OTG.

Selain keempat singkatan status di atas, baru-baru ini muncul singkatan baru yang berasal dari kebijakan pemerintah pusat dalam menangani wabah virus korona, yakni PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Singkatan lain juga muncul dalam teknis penangan pasien yaitu APD (Alat Pelindung Diri) yang digunakan oleh tenaga medis. Hal ini menunjukkan adanya fenomena bahasa di balik wabah virus korona.

2. Muncul Istilah dan Penamaan Baru


Sifat utama bahasa adalah ia fleksibel dan abitrer atau mana suka, artinya bahasa bebas digunakan dalam hal penamaan sesuatu yang baru. Dalam kaitannya dengan wabah korona, terdapat beberapa istilah baru yang dibuat atau disampaikan oleh lembaga tertentu.

Pertama, istilah lockdown. Istilah ini muncul bukan dari dalam negeri. Istilah ini memang berbahasa Inggris dan entah mengapa ternyata sangat digemari di Indonesia. Istilah ini sebenarnya bisa diserap ke dalam Bahasa Indonesia dengan frasa karantina wilayah. Namun agaknya campur kode bahasa lebih mudah dan digemari masyarakat Indonesia ketimbang repot-repot memikirkan persamaan maknanya dalam Bahasa Indonesia. Pemerintah rupanya tak mau ikut-ikutan menyuarakan lockdown dalam bahasa maupun dalam kebijakan yang akan diterapkan yakni dengan menerbitkan kebijakan yang disingkat PSBB.

Kedua adalah penamaan virus korona jenis baru. WHO secara resmi memberikan nama pada wabah ini dengan nama Covid 19. Nama tersebut diambil guna menghindari stigmatisasi terhadap suatu wilayah atau ras. Sebelumnya WHO memberi nama Novel Koronavirus, kemudian berubah menjadi Covid 19.

3. Korona atau Korona?


Penjelasan lebih mendalam tentang persoalan ini terdapat pada artikel yang ditulis oleh Ria Febrina, dosen di Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas. Dalam artikelnya yang dimuat di jawapos.com 9 Februari lalu itu Ria menjelaskan bahwa seharusnya kata korona diserap ke Bahasa Indonesia menjadi korona. Hal itu karena beberapa alasan termasuk dimungkinkannya perubahan tersebut secara aspek fonologi ataupun pola penyerapannya. Dengan demikian menurut Ria hal itu dapat menambah kekayaan Bahasa Indonesia.

4. #dirumahsaja dan teori konspirasi


Wabah virus korona mengguncangkan seluruh lini kehidupan. Mulai dari ekonomi, sosial, pendidikan, bahkan dalam urusan-urusan lain. Hampir semua topik pembicaraan publik adalah wabah virus korona. Bahkan, dalam seni, virus korona sudah naik menjadi lirik lagu dan ide cerita sebuah film. Dalam hal ini virus korona resmi menjadi wacana publik.

Dalam tingkatan unsur bahasa dari yang terkecil, wacana menempati peringkat tertinggi, yakni sesuatu yang dibicarakan. Virus korona merambah ke media sosial dengan digaungkannya #dirumahsaja. Hampir di berbagai platform media sosial, hastag tersebut digunakan oleh warganet ketika membicarakan penanganan virus korona. Dalam hal ini hastah mungkin bisa dikatakan sebagai indikator untuk sebuah wacana di media sosial.

Berikutnya adalah muncul teori konspirasi yang mengatakan bahwa virus korona adalah virus buatan sampai teori bahwa ada sekelompok orang yang memang merencanakan untuk mengurangi polulasi penduduk di bumi. Itu semua adalah wacana yang tak terlepas dari wabah virus korona.

Itulah beberapa fenomena bahasa yang terjadi di balik mewabahnya virus korona di Indonesia dan dunia. Semoga tulisan ini bermanfaat dan wabah ini segera berakhir. Penulis menerima kritik dan saran melalui kontak yang sudah tersedia. Terima kasih.

Posting Komentar untuk "Virus Korona dan Fenomena Bahasa"